2. Anda di minta untuk memberikan masukan dan ikut memecahkan masalan kasus-kasus bisnis di bawah ini.
3. Tugas ini dibuat pada MS. Word dan Backup ke CD.. !
4. CD di kumpulkan pada saat UAS.
Kasus :
Sebelum APEC, Sengketa Perdagangan Diselesaikan
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sedang berupaya menyelesaikan
beberapa kasus sengketa perdagangan dengan negara lain. Pemerintah berharap kasus sengketa perdagangan internasional bisa rampung paling
lambat Oktober mendatang, sebelum penyelenggaraan KTT APEC.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menargetkan seluruh kasus sengketa perdagangan yang menyangkut produk ekspor Indonesia bisa rampung sebelum penyelenggaraan KTT APEC. Alasannya, setelah kasus sengketa dagang rampung, pemerintah ingin memasukkan komoditas karet dan produk kehutanan sebagai green product (produk ramah lingkungan) agar diakui oleh APEC.
“Jika kedua produk Indonesia tersebut diakui sebagai green product, negara-negara yang tergabung dalam APEC akan memberikan pemotongan tarif bea masuk,” katanya di Jakarta, Senin, 21 Januari 2013.
Kasus yang kini tengah dalam tahap penyelesaian adalah masalah kertas dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Belum lama ini, Gita melakukan pertemuan dengan perwakilan pemerintah Jepang untuk membicarakan kasus tudingan terhadap pengusaha kertas lokal Indonesia yang melanggar aturan anti-dumping. Menurut dia, kasus ini tidak membuat hubungan dagang Indonesia dan Jepang terpengaruh.
Pertengahan 2012 lalu, pemerintah Jepang menuding Indonesia telah melakukan dumping terhadap kertas fotokopi yang diekspor ke negara tersebut. Karena itulah, Jepang melaporkan hal tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Akibat impor kertas dari Indonesia meningkat besar, permintaan domestik kertas Jepang mengalami penurunan 2,2 persen. Dari seluruh impor kertas Jepang, pangsa kertas Indonesia cukup besar di Jepang, mencapai 79,1 persen. Di peringkat berikutnya ditempati Cina sebesar 17,1 persen; Thailand 1,6 persen; dan Taiwan 1,4 persen.
"Hubungan Jepang dengan Indonesia baik sekali, sudah berdekade dan diplomasinya sangat sejuk. Ke depannya kalau ada masalah apa pun, khususnya terkait perdagangan, mudah-mudahan bisa segera diselesaikan dengan baik," katanya.
Ia menjelaskan, dirinya telah bertemu dengan perwakilan pemerintah Jepang untuk membahas kasus tersebut secara spesifik, dan berjanji mencari solusi yang terbaik. Pemerintah Jepang mengaku sudah mencatat dan akan segera melaporkan hasil rumusannya dalam waktu dekat.
Indonesia juga tengah menindaklanjuti tudingan pemerintah Amerika Serikat terhadap CPO Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan untuk bahan bakar atau biofuel. Pada 27 Januari lalu, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan notifikasi Environmental Protection Agency (EPA) mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau renewable fuel standards (RFS), yang intinya menyatakan bahwa bahan bakar minyak nabati atau biofuel yang berasal dari minyak sawit Indonesia belum memenuhi standar energi terbarukan.
Menurut Gita, masalah tersebut belum rampung karena belum ada hasil keputusan dari EPA soal data-data yang telah diberikan pemerintah Indonesia kepada Amerika. Komunikasi terus dilakukan sambil menunjukkan bukti bahwa segala proses pembuatan CPO Indonesia telah menganut prinsip keberlangsungan.
"Kami sudah komunikasi dengan EPA, mereka sudah dapatkan penjelasan yang dirangkum oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan," ujarnya.
Ketua Asosiasi Eksportir Produk Gandum, Kacang-kacangan, dan Minyak Sayur Turki, Turgay Unlu, mengatakan, sejak pemberlakuan safeguard ini pada Desember lalu, otomatis tidak ada lagi pengiriman terigu ke Indonesia. Ini akan membuat defisit perdagangan Turki terhadap Indonesia semakin besar.
Pada 2012, ekspor Turki ke Indonesia senilai US$ 400 juta, sedangkan impor dari Indonesia sebesar US$ 2 miliar. Dari nilai ekspor Turki ke Indonesia, sebagian besar berasal dari ekspor terigu senilai US$ 139 juta.
Gita mengaku terus mengikuti perkembangan laporan kasus terigu ini. "Kami akan duduk dengan mereka dan terus lakukan komunikasi," ujarnya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menargetkan seluruh kasus sengketa perdagangan yang menyangkut produk ekspor Indonesia bisa rampung sebelum penyelenggaraan KTT APEC. Alasannya, setelah kasus sengketa dagang rampung, pemerintah ingin memasukkan komoditas karet dan produk kehutanan sebagai green product (produk ramah lingkungan) agar diakui oleh APEC.
“Jika kedua produk Indonesia tersebut diakui sebagai green product, negara-negara yang tergabung dalam APEC akan memberikan pemotongan tarif bea masuk,” katanya di Jakarta, Senin, 21 Januari 2013.
Kasus yang kini tengah dalam tahap penyelesaian adalah masalah kertas dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Belum lama ini, Gita melakukan pertemuan dengan perwakilan pemerintah Jepang untuk membicarakan kasus tudingan terhadap pengusaha kertas lokal Indonesia yang melanggar aturan anti-dumping. Menurut dia, kasus ini tidak membuat hubungan dagang Indonesia dan Jepang terpengaruh.
Pertengahan 2012 lalu, pemerintah Jepang menuding Indonesia telah melakukan dumping terhadap kertas fotokopi yang diekspor ke negara tersebut. Karena itulah, Jepang melaporkan hal tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Akibat impor kertas dari Indonesia meningkat besar, permintaan domestik kertas Jepang mengalami penurunan 2,2 persen. Dari seluruh impor kertas Jepang, pangsa kertas Indonesia cukup besar di Jepang, mencapai 79,1 persen. Di peringkat berikutnya ditempati Cina sebesar 17,1 persen; Thailand 1,6 persen; dan Taiwan 1,4 persen.
"Hubungan Jepang dengan Indonesia baik sekali, sudah berdekade dan diplomasinya sangat sejuk. Ke depannya kalau ada masalah apa pun, khususnya terkait perdagangan, mudah-mudahan bisa segera diselesaikan dengan baik," katanya.
Ia menjelaskan, dirinya telah bertemu dengan perwakilan pemerintah Jepang untuk membahas kasus tersebut secara spesifik, dan berjanji mencari solusi yang terbaik. Pemerintah Jepang mengaku sudah mencatat dan akan segera melaporkan hasil rumusannya dalam waktu dekat.
Indonesia juga tengah menindaklanjuti tudingan pemerintah Amerika Serikat terhadap CPO Indonesia yang dianggap tidak ramah lingkungan untuk bahan bakar atau biofuel. Pada 27 Januari lalu, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan notifikasi Environmental Protection Agency (EPA) mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau renewable fuel standards (RFS), yang intinya menyatakan bahwa bahan bakar minyak nabati atau biofuel yang berasal dari minyak sawit Indonesia belum memenuhi standar energi terbarukan.
Menurut Gita, masalah tersebut belum rampung karena belum ada hasil keputusan dari EPA soal data-data yang telah diberikan pemerintah Indonesia kepada Amerika. Komunikasi terus dilakukan sambil menunjukkan bukti bahwa segala proses pembuatan CPO Indonesia telah menganut prinsip keberlangsungan.
"Kami sudah komunikasi dengan EPA, mereka sudah dapatkan penjelasan yang dirangkum oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan," ujarnya.
Ketua Asosiasi Eksportir Produk Gandum, Kacang-kacangan, dan Minyak Sayur Turki, Turgay Unlu, mengatakan, sejak pemberlakuan safeguard ini pada Desember lalu, otomatis tidak ada lagi pengiriman terigu ke Indonesia. Ini akan membuat defisit perdagangan Turki terhadap Indonesia semakin besar.
Pada 2012, ekspor Turki ke Indonesia senilai US$ 400 juta, sedangkan impor dari Indonesia sebesar US$ 2 miliar. Dari nilai ekspor Turki ke Indonesia, sebagian besar berasal dari ekspor terigu senilai US$ 139 juta.
Gita mengaku terus mengikuti perkembangan laporan kasus terigu ini. "Kami akan duduk dengan mereka dan terus lakukan komunikasi," ujarnya.
No comments:
Post a Comment